Tuesday, September 23, 2008

Mengungkap Rumah Adat Masyarakat Belitung (Belitong/Biliton)

Kehidupan masa kini Belitong adalah bagian dari masa lalunya, sejarah telah mengantarkannya menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam kebudayaan yang lebih luas. Kebudayaan masa lalunya; adanya kerajaan yang berdaulat, oleh raja yang memimpin rakyatnya dengan arif dan bijak selama turun-temurun.

Itu memaknai bahwa sistim kepemimpinannya memakai garis-garis haluan hukum yang adil hingga kemudian tatanan kebudayaan dan peradaban itu dirusak oleh penjajah Belanda yang ingin menguasai kekayaan timahnya. Peradaban Melayu Belitong yang tercermin dalam peninggalan sejarah serta yang tertanam dalam pemikiran dan kesahajaan masyarakatnya; bahasa, rumah, matapencaharian, pemeliharaan hutan, tradisi ritual, kerukunan, dan lain sebagainya merupakan cermin dari sejarah masa lalunya yang arif.

Pengetahuan ini tentu belum menjadi milik umum Bebarapa bagian tulisan yang diturunkan lewat media ini adalah substansi dari sejarah yang pernah ada dan kini masih tersimpan dalam ingatan para sepuh dan manuskrif yang pernah ditulis pada tahun 1937 oleh pendahulu mereka yaitu K.A. Haji Abdul Hamid, karenanya Penulis amat berterima kasih sedalamnya kepada seluruh keluarga besar Kerukunan Keluarga Cakraningrat, serta ketua Sepuh Adat Keluarga Besar Cakraninggrat, Datuk Mpu K.A. Idris Alie.

Rumah adat merupakan identifikasi mutlak sebagai sebuah perwujudan identitas budaya dan kebudayaan sebuah bangsa; etnik yang menempati sebuah kawasan yang mempunyai garis tegas tentang perangkat adat untuk mengatur wilayah adatnya. Maka rumah adat bukan hanya sebagai perangkat pemersatu; tempat bertemu, membahas segala persoalan yang menyangkut tentang kehidupan baca berkebudayaan; norma, hukum, ekonomi, politik, kesenian, bahkan adat istiadat atau tradisi keseharian, bahkan menyangkut hal yang bersipat insidentil seremonial.

Tetapi lebih daripada semua itu, ia sebagai tempat sublimasi bagi generasi muda; pada masa lampau semua tentang pengajaran agama di ajarkan di sana. Rumah adat seperti yang diidentifikasikan tersebut sudah pernah ada di wilayah adat Belitong. Rumah adat tersebut dibangun oleh para kepala adat wilayah Belitong yaitu para Depati yang memerintah pada tiap-tiap zamannya.

Seperti kita ketahui bahwa pemerintahan yang pertama di Belitong ada di kawasan Balok (Belantu) yang di kenal dengan Kerajaan Balok Lamak, pemerintahan di kawasan itu di perintah oleh Kiai Mas'ud atau dikenal juga dengan sebutan Kiai Gegedeh Ya'kob yang merupakan keturunan langsung Bupati Mataram pertama (Kiai Gede Pamanahan 1546-1582) yaitu Kiai Mas'ud atau sebagai Depati Cakraningrat I (pertama) dan kemudian menurunkan trah sampai kepada Depati cakraningrat ke IX (Depati yang memerintah di Kota Tanjung Pandan mulai dari Depati Rahad sebagai Depati Cakraningrat ke VIII hingga Depati Endek sebagai Depati terakhir atau ke X) Rumah adat tersebut selalu dibangun tidak jauh dari rumah tinggal Depati yang memerintah pada masanya.

Karenanya di masa-masa terakhir pemerintahan para depati Cakraninggrat atau sebelum peran Depati selaku pimpinan yang berperan secara adat "dilenyapkan" oleh pemerintah Kolonial Belanda, rumah adat yang terakhir tersebut ada di jantung kota Tanjung Pandan berdiri di dekat mesjid Jami' Kota Tanjung Pandan dengan sebutan Rumah Gede.

Rumah Gede tersebut setelah ketiadaan pemerintahan Depati (pemerintahan yang diatur secara adat menurut aturan kerajaan yang turun temurun) Maka pemerintah Belanda mengangkat orang yang dianggap bisa diarahkan dan dikendalikan oleh Penguasa Belanda (sejak pemerintahan Depati K.A. Rahad, Trah keluarga Kerajaan sempat dipinggirkan oleh Belanda dengan politik adu domba yang dikenal dengan sebutan Devide Et Invera dan Depati K.A. Rahad tidak mendapat mengakuan oleh Belanda.

Pada tahun 1826 belanda menempatkan Pangeran Syarif Hasyim dari Palembang. Pemberontakan meletus dan Pangeran Syarif Hasyim meningal dunia, kemudian tahun 1837 Belitung di pimpin oleh Mas Agus Asik dari Pulau Lepar sampai tahun 1838 dan kemudian kekuasaan diserahkan kembali kepada Depati Rahad dan ia baru dilantik dengan gelar Cakraninggrat ke VIII pada 1juli 1838 hingga meninggal dunia tahun 1854.kedian digantikan oleh adiknya K.A. Mohamad Saleh Untuk mengurangi pengaruh Depati terhadap rakyatnya, pada tahun 1873 pangkat Depati dihapus oleh Belanda.

Sedang pada tahun 1879 hingga tahun 1890, pangkat Depati diadakan kembali oleh Belanda dan Belanda mengangkat K.A. Endek yaitu keponakan yang juga menantu dari K.A. Mohamad Saleh dengan gelarDepati Cakraningrat ke X. gelar ini tidak diakui oleh rakyat karena pemberian Belanda) Rumah Adat Masa Lalu Pada masa kolonial Belanda, peran rumah adat di Belitong menjadi kurang berfungsi karena campur tangan Belanda dalam menentukan kebijakan Depati selaku pemegang keputusan adat terhadap rakyatnya bahkan Belanda serlalu campur tangan dalam menentukan Kekuasaan Depati; hingga keputusan depati selalu tidak dibahas diam-diam tidak di rumah adat. (Perlu ditegaskan hukum adat, adalah hukum yang juga mencakup hal ihkwal keseharian, seperti tradisi perniagaan, pertanian, mengolah hasil alam; hutan dan pertambangan timah) sudah dikacaukan oleh Belanda karena Belanda menginginkan keuntungan secara ekonomi.

Sedang perihal adat yang menyangkut tradisi ritual seperti memang tidak dicampuri oleh Belanda, seperti adat perkawinan dan perayaannya atau begawai, adat selamatan anak yang lahir, adat selamatan kampong, adat selamatan tahun. Rumah adat atau Rumah Gede tersebut sudah tidak berfungsi sebagaimana mestinya karena Belanda telah mengintervensi segala kebijakan Depati yang di akui oleh rakyatnya dengan berpegang pada adat, yaitu hukum tradisi sejak kerajaan pertama didirikan.Tetapi rumah adat yang ada di kota Tanjung Pandan tetap berdiri hingga akhir tahun 1950.

Fungsi rumah adat atau rumah gede tersebut setelah era kemerdekaan hanya dimanfaatkan sebagai tempat mengaji atau belajar membaca alquran oleh masyarakat setempat. Kemudian musnah dikarenakan tidak adanya lagi perhatian, baik dari pihak pemerintah maupun pihak keluarga Depati. Fungsi esensial rumah adat di zaman Belanda sudah ditiadakan, seiring dengan peran Depati yang sudah dipinggirkan oleh Belanda.

Tetapi rumah adat sebagai alat pemersatu tempat para tetua bermusayawarah dan mufakat, tempat kesenian digelar, tempat bermacam tradisi adat digelar, tentu tidak terkikis habis dalam pikiran tiap anak negeri Belitong. Karena itu sebagai anak negeri yang merdeka dari kungkungan penjajah, anak negeri yang mau membangun dan memfungsikan Rumah Adat itu kembali guna disesuaikan dengan kebutuhan masa kini, perlu kita dukung dengan sepenuh hati. karena ia tidak hanya sebagai simbol sebuah eksistensi sebuah negeri yang beradat tapi lebih dari itu, sebagai barometer kedepan; bahwa spirit anak negeri tidak semata dibangun dengan materi sebagaimana yang di anut oleh paham hedonisme masa kini.

Fungsi rumah adat Belitong untuk masa kini tentunya disesuaikan dengan kebutuhan kebudayaan saat ini. antara lain tidak hanya sebagai simbolisasi kenegerian (bahwa wilayah Belitong adalah wilayah adat yang otonom, pernah ada kerajaan dan pemerintahan yang pada masanya ada hukum adat yang mengatur segala norma kehidupan atau penghidupan masyarakatnya) tetapi juga rumah adat tersebut akan berfungsi sebagai objek studi, wisata, rumah pergelaran kesenian, pergelaran adat tradisi, bahkan sebagai rumah duta di mana para sesepuh adat; pemimpin negeri, penghulu adat, pemangku adat dari luar wilayah adat dapat saling bersitalurahim dengan takzim.

Sebagai objek studi dan wisata, tentu kita akan mendapat gambaran yang realistis tentang sejarah yang pernah ada, sementara yang sudah tertanam di dalam pemikiran sebagian masyarakat bahwa sejarah Belitong hanya ada tergolek pada benda-benda sejarah di museum kota Tanjung Pandan dan museum Badau. Tentu itu hanya sebagian kecil dari pernak-pernik sejarah. Bagaimana sejarah lainnya, seperti tradisi pemerintahannya dari masa ke masa, tradisi keseniannya, tradisi adat istiadat lainnya.

Replikasi dan pergelaran yang menyangkut hal ikhwal kebudayaan tersebut bisa di gelar di rumah adat tersebut. Spirit Rumah Adat Membangun rumah adat yang refresentatif tentulah tidak semudah membalikkan telapak tangan meski pemerintah memberikan dukungan penuh karena rumah adat erat kaitannya dengan masa lalu yang sudah menjadi sejarah, bukan saja sejarah adatnya tapi juga peran dari para keluarga depati selaku pewaris pelaksana adat sebagaimana yang telah diturunkan oleh para nenek moyang terdahulu.

Dan tak kalah pentingnya adalah bahwa masyarakat mesti menerima ini sebagai sebuah kekayaan negeri, sebuah eksotisme yang tak dimiliki wilayah lain; bahwa Belitong merupakan sebuah wilayah yang bersatu secara adat; bahasa melayu Belitong yang sampai kini tetap terjaga di hampir setiap sudut manapun di wilayah Belitong, kerukunan masyarakat, kemufakatan antarwilayah, masyarakat yang rendah hati, kearifan lokal terhadap lingkungan alam. (Pembabatan hutanoleh pengusaha adalah cerita lain yang tak terpungkiri) sebagai rakyat asli akan berpikir seribu kali untuk menghianati kearifan lokal, kecuali ia betul-betul penghianat dan tak tahu adat!

Eksotisme yang telah tumbuh secara adat turun temurun; tradisi lokal begalor, bertani, melaut, berburu, bebanjor, nirok, nanggok, dan mengekploitasi hasil hutan, setidaknya kini masih ada dalam sisa ingatan orang-orang Belitong moderen tetapi masih dilakukan sebagian masyarakat di desa-desa tradisional Belitong. Kearifan lokal, eksotisme adat, bahasa melayu Belitong; adalah spirit yang terbangun sejak kerajaan dengan pemimpinnya yang bijak. Ketentraman Belitong akan selalu terjaga jika tidak dirusak oleh orang-orang yang tahu adat Belitong.

Perlu dicatat kerendahhatian Masyarakat Belitong terhadap siapa pun, orang manapun. adalah cerminan dari turunan terdahulu. (sejarah mengingatkan; masuknya Kiai Mas'ud atau Kiai Gegedeh Ya'kob dari Kerajaan Mataram abad ke 15 dan kemudian menaklukan kerajaan kecil yang masih menganut hindu di Belitong) bukan semata ia haus kekuasaan tapi lebih dikarenakan ia hanya ingin hidup tentram bersama rakyatnya! Akar ketentraman adalah kearifan.

Karenanya selama pemerintahan turunan Cakraningrat di Belitong tidak pernah terjadi pertumpahan darah karena perebutan kekuasaan dan penghianatan. Kecuali adanya hegemoni dari pihak luar sekitar tahun 1755 (masuknya Tengku Akil dari kerajaan Siak untuk menguasai Belitong dan kemudian membunuh Raja K.A. Mohamad Hatam atau Cakraninggrat ke VII yang berkedudukan di Hulu Sungai Cerucuk) hingga kemudian anaknya K.A Rahad meski membuat pertahanan di muara Suangai Cerucuk dan mendirikan kerajaan baru yang kini menjadi kota TanjungPandan.

Sebuah rumah adat mesti memiliki aura atau ruh yang menjaga keagungan dan keanggunannya baik secara fungsional maupun visional. Dalam hal ini tentu tidak akan dibangun hanya semata berdasarkan pada keinginan atau pemenuhan pada infrastruktur yang lazim sebagaimana kita membangun kebutuhan sarana publik karena ia memiliki semacan aura yang tegas!.Pada masa dulu munculnya aura ini karena ada wibawa raja dan kesetiaan rakyatnya. Maka sebuah rumah adat masa dulu sebagai sebuah rumah dimiliki secara komunal untuk kepentingan bersama dibawah aturan adat dan wibawa raja hingga rumah tersebut menjadi terjaga dan terpelihara.

Namun ketika kini akan diwujudkan dalam masa yang berbeda tetapi aura dan ruh yang akan tertanam teentu akan menjadi berbeda namun tingkat kecerdasan masyarakatlah yang akan mendukung aura tersebut bahwa mereka adalah pewaris dan pemelihara kekayaan eksotis tersebut. Hal itu tentu mesti memperhatikan spirit yang pernah ada bahkan hingga kini spirit itu masih tersimpan sebagai pusaka adat; baik itu yang bersipat pemikiran (keturunan dari pelaksana atau pemangku adat), materi (benda-benda pusaka), atau aturan adat (baik tertulis maupun lisan yang diwariskan secara turun temurun baik di masyarakat maupun di keluarga depati) Bentuk Fisik dan fungsi Rumah Adat Bentuk fisik rumah adat Belitong sangat sederhana, merupakan rumah Panggong; rumah yang ditopang tiang dengan bahan kayu pilihan terbaik. Kesemua bahan bangunan terbuat dari kayu sampai ke atapnya yang disebut dengan atap sirap bangunan terbagi menjadi tiga bagian; ruang teras, ruang tengah atau utama, ruang penyangga, dan ruang belakang.Ruang teras merupakan ruang publik; seperti layaknya ruang santai jadi hal-hal yang tidak begitu penting bisa dibicarakan di sini, bahkan ketika para petinggi kerajaan menonton pertunjukan di halaman Rumah Gede akan selalu duduk di sini.

Ruang utama adalah ruang besar yang bisa menampung banyak orang, tidak memilikisekat atau kamar, tetapi ada partisi artistic sebagai sekat sementara berguna untuk bersalin pakaian dan lain-lain.ruang utama ruang yang selalu terjaga. Ruang perantara selalu ada tangga di sisi kiri dan kanannya, dan ada air wudhu yang di tempatkan di dalam tempayan atau guci. Ruang ini bukan hanya sebagai penghubung antara ruang belakang dan ruang utama, tapi dipakai juga sebagai pintu darurat jika para tamu mau ke toilet karena secara adat kesopanan tidak diperkenankan melewati pintu depan. Pintu depan atau utama hanya boleh dipakai untuk datang dan pulang.

Dan ruang penyangga juga berfungsi sebagai ruang pengatur atau pengarah acara; antara keperluan para majelis yang sedang bermusyawarah di ruang utama dengan keperluan seperti pengaturan konsumsi di ruang belakang, karena makanan para majelis mesti aman dari berbagai ancaman dan keamanan. Ruang belakang merupakan tempat menyimpan semua perkakas keperluan rumah adat dan kepentingan majelis; misalnya rehal untuk meletakkan alquran, tikar untuk sholat,dan lain-lain,bahkan peralatan makan-minum, peralatan sirih pinang, Dan yang terakhir tentu saja toilet yang terletak terpisah dari bangunan utama, ia ada di belakangbangunan utama.

Halaman rumah adat relative lebih luas, selalu dipakai sebagai ruang pertunjukan, tempodulu pertunjukan yang digelar antara lain seperti pencaksilat, beripat rutan, beregong,becampak, musik gambus, tari-tarian, dan lain sebagainya

Penulis adalah Ian Sancin di Begalor.comDirektur Bidang Lintas Sosial Budaya SAPIR INSTITUTE ( sebuah lembaga studi, kajian dan penelitian )





raziey

Suku Laut di Belitung Miliki Seni Budaya Unik

Oleh: ILHAM KHOIRI

Sungai Kerucuk di Desa Juru Seberang, Kecamatan Tanjung Pandan, Kabupaten Belitung, Provinsi Kepulauan Bangka-Belitung, terasa begitu sibuk. Beberapa nelayan hilir mudik membawa jaring dengan sampan kecil. Beberapa nelayan lain menyeberangi air di pinggiran untuk naik ke perahu yang ditambat di tengah sungai.

Pagi yang cerah di akhir bulan Mei lalu itu memang saatnya nelayan berangkat menangkap ikan di laut lepas.

Aktivitas di Pelabuhan Tanjung pandan yang terletak di seberang sungai juga tampak berdenyut. Di pinggiran sungai sejumlah bocah bermain di tengah lumpur sambil melihat rombongan nelayan yang mulai menjalankan perahu.

”Kami mau menangkap ikan. Kalau dapat banyak, kami bisa segera pulang nanti sore atau malam. Kalau lagi sepi, kami menginap beberapa hari lagi di laut sampai dapat ikan,” kata Saparuddin (20) sambil berjalan menghampiri beberapa kawannya yang telah di perahu.

Saparuddin adalah salah satu dari sekitar 50 keluarga suku Laut yang tinggal di Desa Juru Seberang. Suku yang juga disebut suku Sawang itu hidup berkelompok di tengah komunitas nelayan Belitung yang menetap di tepi muara Sungai Kerucuk yang terletak di seberang Pelabuhan Tanjung Pandan.

Mereka dikenal sebagai nelayan penangkap ikan yang ulung, mahir membuat berbagai jenis perahu, dan ahli navigasi.

Sebagaimana namanya, suku Laut sangat mencintai laut. Sebelum menetap di Desa Juru Seberang tahun 1985, suku tersebut benar-benar menjadi ”manusia perahu” yang hidup di atas perahu di tengah lautan. Mereka melakukan segala kegiatan di atas perahu dan membangun kebudayaan laut yang unik.

”Kami lahir, besar, menikah, dan bekerja di atas laut. Kami tidak bisa dilepaskan dari laut karena laut itulah hidup kami,” kata Ketua suku Laut Menan. Menan menggantikan posisi ketua adat sebelumnya, Inal, sejak tahun 1986. Sebelum Inal, suku itu dipimpin ketua adat yang bernama Tumpak.

Setelah menetap di Desa Juru Seberang hingga sekarang, suku Laut masih terus berpetualang sampai bermil-mil ke laut lepas. Dengan mengandalkan jaring atau pancing tradisional, mereka bisa menangkap berbagai jenis ikan, seperti kakap, tenggiri, ilak, terisi, atau bawal.

Mereka juga terbiasa berburu cumi-cumi di malam hari dan menyelam dengan kompresor untuk menangkap teripang atau ketimun laut (holothurians). Hasil tangkapan dijual di pelabuhan yang disinggahi atau pasar ikan terdekat.

Sekitar tahun 1980-an, teripang, atau biasa disebut gamat, menjadi primadona komoditas laut. Karena dianggap bergizi tinggi dan bisa bermanfaat untuk pengobatan, teripang menjadi produk yang sangat mahal.

Para nelayan suku Laut dikenal sebagai pemburu teripang yang sangat andal. Hanya bermodalkan perangkat seperti kompresor mereka mampu menyelam sampai kedalaman puluhan meter ke dasar laut.

”Kalau bisa menyelam sampai kedalaman 30 meter dan dapat teripang super, untungnya besar. Satu kilogram teripang kering bisa laku antara Rp 1 juta sampai Rp 2 juta,” kata Jima (38), anggota suku Laut yang tinggal di pinggiran Sungai Kerucuk. Teripang super yang dimaksud adalah teripang pasir (holothuria scabra) yang banyak diburu untuk bahan pengobatan.

Di laut berabad-abad

Menurut sejarawan yang menjadi Ketua Kelompok Peduli Budaya Belitung Kabupaten Balitung Salim Yan Albers Hoogstad, suku Laut termasuk ras Proto Melayu yang memilih tinggal di laut sejak abad-abad permulaan Masehi.

Eksistensi mereka tercatat dalam naskah-naskah peneliti Belanda saat menjajah Indonesia. Belanda menempatkan suku Laut dalam lapisan sosial di atas suku Melayu yang berada di tingkat keempat. Peringkat pertama ditempati Belanda, peringkat kedua warga keturunan China.

”Belanda membutuhkan suku Laut karena mereka termasuk pekerja keras. Mereka juga dikenal sebagai pelaut ulung yang dapat menangkap ikan-ikan besar tanpa merusak lingkungan laut,” kata Salim Yah.

Suku Laut juga dihargai karena memiliki seni budaya yang unik, terutama tari dan pantun. Salah satunya adalah tari campak laut, yaitu tarian yang dilakukan dalam iringan musik sambil berbalas pantun.

Pantun sering dimuati petuah-petuah nenek moyang dalam menjalani hidup. Penari yang tidak bisa membalas pantun dianggap kalah.

Bentuk seni lain adalah tari tombak duyung. Tari ekspresif itu dibawakan nelayan andal yang mampu memeragakan atraksi menombak ikan duyung di laut.

Ada juga tarian cap dengan penari yang memakai topi bermantra sambil terus berjoget hingga kerasukan roh nenek moyang. Berbagai bentuk seni itu sering ditampilkan dalam upacara Buang Jong yang diselenggarakan setiap tahun.

Namun, belakangan ini eksistensi suku Laut semakin terancam oleh desakan nelayan bermodal besar dari berbagai daerah atau mancanegara yang memiliki teknologi modern. Mereka lebih gesit mencari ikan karena menggunakan kapal besar yang dilengkapi radar pemantau ikan dan navigasi canggih.

Demi menangkap berton-ton ikan secara cepat, mereka tidak segan menggunakan jaring pukat atau kunsi, dinamit, dan bahan kimia seperti putas. Akibatnya, ekosistem laut semakin rusak dan banyak ikan yang masih kecil terbunuh sia-sia.

Situasi itu sempat diprotes puluhan nelayan suku Laut dengan berunjuk rasa di depan Kantor Dinas Perikanan Kabupaten Belitung tahun 2002 lalu. Saat melaut, suku itu aktif memperingatkan nelayan yang kepergok menggunakan alat yang merusak lingkungan. Namun, ketika pemerintah kurang konsisten menindak kejahatan lingkungan, praktik penangkapan ikan yang menghancurkan ekosistem laut terus berlanjut hingga sekarang.

”Sekarang ini sudah tidak bisa bilang apa-apa lagi. Setelah karang, terumbu karang, dan lingkungan laut hancur, semakin sulit saja mencari ikan, apalagi teripang. Mungkin yang tersisa hanya teripang jenis karang atau lontong yang harganya murah. Kadang kami sudah putar-putar di laut, tetapi terpaksa pulang dengan tangan hampa,” kata Menan.

Situasi itu bertambah runyam setelah harga bahan bakar minyak makin melambung sehingga biaya melaut pun melonjak. Untuk melaut dengan perahu kecil bermuatan lima nelayan dalam waktu lima hari saja, setidaknya dibutuhkan modal Rp 1,5 juta. Modal itu untuk membeli es balok, solar, sewa kapal, dan makanan. Setelah pulang, mereka biasanya hanya bisa membawa 100 kg ikan campuran yang laku dijual Rp 500.000.

”Uang itu dibagi untuk lima nelayan, masing-masing Rp 100.000. Hasilnya tipis sehingga modal enggak tertutupi. Kadang malah pulang tanpa membawa apa-apa,” kata Badung (53), nelayan suku Laut.

Situasi serba sulit ini mendorong beberapa anggota suku terpaksa meninggalkan kerja mencari ikan dan melirik pekerjaan lain yang lebih menjanjikan, seperti mencari besi tua di dasar laut, menambang timah, atau menjadi buruh serabutan. Mereka yang bertahan melaut tetapi bermodal cekak, mudah terjerat utang para tengkulak.

Menurut Ketua Lembaga Adat Provinsi Bangka-Belitung Suhaimi Sulaiman, eksistensi dan budaya suku Laut hendaknya dijaga sebagai salah satu kekayaan tradisi Belitung. Kekayaan itu penting sebagai rujukan sejarah di tengah minimnya tradisi lokal di Bangka-Belitung yang tumbuh sejak awal Masehi.

Budayawan Willy Siswanto mengatakan, keberadaan suku Laut merupakan aset kultural yang memberikan acuan untuk mengidentifikasi budaya Bangka-Belitung.

”Budaya suku Laut memberikan sudut pandang yang lebih bijak di tengah hasrat masyarakat yang bernafsu menggerus alam untuk mengeruk keuntungan. Komitmen mereka untuk menjaga laut dapat dijadikan cermin penyadaran bahwa hidup harus selaras dengan alam,” katanya.





raziey
&affid=2368&output=js">