Thursday, May 14, 2009

Seni Pahat Papua

udaya

Beberapa Gaya Seni Pahat di Papua
Seni Tradisional dan Modern
Pada umumnya karya seni adalah hasil ekspresi jiwa yang dilatarbelakangi oleh budaya setempat yang telah membentuk jiwa atau pribadi sang seniman. Seniman tradisional yang berlum tersentuh oleh budaya luar akan lebih banyak menghasilkan karya budaya kolektif yang dapat mewakili cipta, rasa dan karsa kelompok suku atau etnisnya.

Umumnya hampir semua anggota masyarakat tradisional adalah seniman, karya seninya hampir identik dengan karya kerajinan. Hasil karya para seniman tradisional akan mempunyai persamaan antara satu dengan lainnya; gaya seninya statis dan cenderung menghindari perubahan. Sebaliknya seniman modern yang telah mengenal berbagai ragam seni dari berbagai etnis lain akan menghasilkan karya seni yang lebih individual; karya seni modern akan selalu berbeda antara satu dengan lainnya; teknik, tema dan gayanya dinamis karena selalu mencari pembaruan.

Hasil Hias Seni Pahat Papua
Wilayah Papua sangat luas, alamnya masih asli dan transportasi antarwilayah sangat sulit, terutama di bagian pedalaman.Keadaan alam demikian menjadikan penduduknya terisolasi sehingga kontak budaya antarsuku hanya sedikit terjadi. Dengan demikian karya seni (khususnya seni pahat) dari para senimannya adalah hasil ekspresi lokal yang lahir mewakili etnisnya.

Dari pengamatan yang dilakukan para pakar seni pahat, antara lain oleh Winger, Ralph Linton, Grebrands dan Kooyman, maka daerah Provinsi Papua dapat dibagi dalam sembilan wilayah yang masing-masing mempunyai gaya seni pahat sendiri-sendiri.

Wilayah seni itu ialah:
1. Wilayah Pantai Barat-Laut
2. Wilayah Teluk Humboldt dan Danau Sentani
3. Wilayah Sepik
4. Wilayah Teluk Huon
5. Wilayah Massim
6. Wilayah Teluk Papua
7. Wilayah Selat Torres
8. Wilayah Marind-Anim
9. Wilayah Barat-Daya

Dalam satu wilayah seni masih ada beberapa kelompok yang lebih kecil yang mempunyai varian gaya seni berbeda, misalnya di wilayah Barat-Daya ada seni rakyat kelompok Mimika, Asmat dan Awyu (termasuk Yaqai dan Citak). Uraian di bawah ini hanya membicarakan gaya seni pahat wilayah Barat-Daya.

Gaya Seni Pahat Wilayah Barat-Daya
Wilayah ini sangat luas dan terpisah-pisah oleh banyak sungai sehingga berakibat timbulnya beberapa perbedaan antara wilayah Mimika, Asmat, dan Awyu.
1. Gaya Seni Mimika
Wilayah ini berada di antara Telk Etna sampai sungai Otokwa. Berpenduduk sekitar 10.000 jiwa dan menggunakan enam dialek bahasa. Latar belakang kepercayaannya: percaya adanya roh leluhur yang mendiami hutan belantara. Prose kehamilan wanita dianggap bukan karena masuknya sperma laki-laki ke alam rahim melainkan adanya roh yang masuk ke rahim sang calon ibu melalui pusernya. Kepercayaan ini mengakibatkan adanya penonjolan pusar manusia dalam pembuatan patung kayu.

Ragam hiasnya menggunakan unsur geometris dan antropomorfis, teknis pahatannya krawangan (“a jour”) dan “en relief”, wujudnya patung nenek moyang.

2. Gaya Seni Asmat
Suku Asmat hampir tiga kali jumlah penduduk Mimika, mereka tinggal di sekitar sungai-sungai, rawa besar, kastil, Barat-Daya, Lorentz, Utumbuwe dan sungai Pulau-Pulau. Mereka juga percaya pada roh nenek moyang dan kehidupannya dipenuhi upacara-upacara sebagai usaha ruwatan. Di masa silam mereka masih mengayau dan yakin pada adat balas dendam. Motif pahatannya geomteris dengan pilihan bentuk huruf M dan W yang dibuat dengan teknik cukil. Dalam peralihan ke bentuk tiga dimensi ada ungkapan antromorfis, terutama pada bentuk haluan perahu. Buatannya masih kasar karena masih digunakan alat-alat dari batu dan tulang (sebelum tahun 1970). Pahatannya sendiri berwujud patung nenek moyang.

3. Gaya Seni Awyu dan Citak
Wilayah yang ditempati suku ini dibatasi oleh Sungsi Kampung di utara dan Sungai Digul di selatan. Adat mengayau masih berlaku hingg sekitar tahun 1940.

Gaya seni dua dimensi, misalnya pada perisai, juga menggunakan motif geometris dengan unsur mata, huruf V yang ikal dan pilin ganda. Pola hiasnya ada dua kelompok, yang pertama memusatkan pada motif mata yang diukir dalam bentuk pilin berdampingan; bidang sisanya diisi dengan garis kurvilinier berbentuk V yang bersambungan atau berupa menader. Pola hias kedua lebih sederhana, motif aksara V yang ikat dijadikan motif dasar lalu bidang lainnya diisi cukilan geometris, baik pola pertama maupun pole kedua, meskipun bentuknya abstrak, semuanya masih menampakkan pola antropomorfis. Pada pahatan perisai, warna dasarnya putih, bingkai dan tanggul saluran diberi warna hitam. Sedangkan salurannya diberi warna merah padam (lihat Moh. Amir Sutaarga: Seni Rakyat di Irian Jaya, 1942, Jakarta: Proyek Rehabilitasi dan Perluasan Museum 1973).

Khusus pada karya seni pahat dalam bentuk perisai, kita dapat mengamati atau menelitinya dengan dua cara; pertama kita memasangnya di dinding dan kedua kita menyuruh orang untuk mempermainkannya dalam tarian. Pada acara pertama kita dapat mengamati permainan warna yang kontras tetapi dinamis, pada cara kedua kita dapat menikmati gerak garis dan pola hias antropomorfis hingga seolah-olah benda itu mengandung jiwa dan hidup.

Zaman telah berubah dan bangkitnya kesadaran akan hak azasi, terutama azas Pancasila kita, tidak mengizinkan masyarakat Papua menjadi monumen hidup. Tidak mungkin kita melestarikan kehidupan mengayau dan perang balas-dendam. Yang kita lestarikan hanyalah kemampuan masyarakat untuk tetap berkarya di bidang seni pahat dan tetap melakukan tarian mereka, baik dalam kaitan upacara suci maupun sebagai tarian seni belaka. Usaha ini berkaitan dengan tuntutan arus pariwisata yang menghendaki suguhan budaya asli yang tidak ada di belahan dunia lainnya. Yang harus dijaga ialah agar tradisi keagamaan, antara lain berupa tarian ritual (misalnya kematian), tidak “dijual” hanya demi tujuan kecil. Hal ini perlu dijaga agar nilai-nilai sakral dalam masyarakat Papua tidak aus dan hilang.

Sumber:
Tim Koordinasi Siaran Direktorat Jenderal Kebudayaan. 1996. Khasanah Budaya Nusantara VII. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

diambil dari: uun-halimah.blogspot.com





raziey

Tari Piring

Nusantara
Tari Piring Tarian Asli Masyarakat Minangkabau
30-05-2008 02:03

Tarian Piring merupakan seni tari yang dimiliki oleh orang Minangkabau yang berasal dari Sumatera Barat. Tarian tersebut menggambarkan rasa kegembiraan dan rasa syukur masyarakat Minangkabau ketika musim panen telah tiba, dimana para muda mudi mengayunkan gerak langkah dengan menunjukkan kebolehan mereka dalam mempermainkan piring yang ada di tangan mereka.

Tarian ini diiringi lagu yang dimainkan dengan talempong dan saluang, yang dimana gerakannya dilakukan dengan cepat sambil memegang piring di telapak tangan mereka. Kadangkala piring-piring tersebut mereka lempar ke udara atau mereka menghempaskannya ke tanah dan diinjak oleh para penari tersebut dengan kaki telanjang.

Kesenian tari piring ini dilakukan secara berpasangan maupun secara berkelompok dengan beragam gerakan yang dilakukan dengan cepat, dinamis serta diselingi bunyi piring yang berdentik yang dibawa oleh para penari tersebut. Pada awalnya sejarah tari piring ini memiliki maksud dalam pemujaan masyarakat minangkabau terhadap Dewi Padi dan penghormatan atas hasil panen. Namun pada jaman sekarang tarian tersebut lebih sering diadakan pada acara pernikahan.

Tari Piring ini menjadi sangat digemari bahkan di negeri tetangga juga seperti Malaysia tari ini sering dibawakan. di luar negeri tari piring dikenal dan disenangi karena tarian ini memiliki gerakan yang enerjik, bersemangat, atraktif, dinamis, serta gerakan dari tari tersebut tidak monoton sehingga menjadi daya tarik tersendiri bagi para penonton Tari Piring.

erwan rosmana adalah kontributor swaberita dan dapat dihubungi di erwan.rosmana@tijecorp.com

diambil dari www.swaraberita.com





raziey

Wednesday, February 11, 2009

wisata pantai barat aceh


Aceh barat memiliki kawasan pantai yang paling indah di seluruh Provinsi Aceh. dan pantai ini langsung berhadapan dengan laut lepas Samudera Indonesia. Di beberapa tempat. pantainya berdinding tegak dipagari oleh bukti-bukti berhutan lebat. Pada sore hari. pantai Aceh barat menampilkan pesona yang sangat mengesankan karena merupakan daerah tempat tenggelamnya matahari.

Wisatawan yang melakukan perjalanan dari Banda Aceh ke selatan menyusuri pantai barat akan menikmati panorama pantai yang sangat indah dengan latar belakang pemandangan bukit-bukit yang ditutupi hutan. Pantai Samudera Indonesia yang berada di kawasan ini membentang dari utara ke selatan seolah tanpa pernah terputus. Menyusuri pantai barat Aceh ini mulai dari ibukota Banda Aceh berakhirnya di Singkil. kota yang terletak diujung paling selatan provinsi ini wisatawan bisa menikmati keindahan alam namun sayangnya belum di dukung infrastruktur yang baik.

Kota-kota disepanjang Pantai Barat ini adalah Calang, Meulaboh, Tapaktuan, Pulau Simeuleu, Teluk Jamin, Singkil dan Kepulauan Banyak. Ketika gempa dan tsunami menghantam Provinsi Nangroe Aceh Darussalam 26 Desember 2004 lalu kota-kota inilah yang mengalami kerusakan.

Calang adalah sebuah kota kecil yang terletak 140 Km selatan Banda Aceh dengan pantainya yang sangat bagus. Untuk menuju ke tempat ini. Anda dapat menumpang kendaraan bis umum dan Banda Aceh ke Calang-dengan waktu tempuh sekitar tiga jam.

Meulaboh berjarak 250 Km di selatan Banda Aceh yang dapat ditempuh dengan menggunakan bis umum. Dianjurkan untuk tidak berenang di pantai yang berada di de kat kota karena memiliki arus yang kuat dan berbahaya untuk tempat bermain. berenang di Meulaboh adalah di Lhok Bubon yang berada 16 Km utara
Meulaboh.

Tapaktuan terletak sekitar 200 Km di selatan Meulaboh dan merupakan kota terbesar di Aceh Selatan. Perjalanan ke Tapaktuan dari Banda Aceh ditempuh selama 11 jam dengan menggunakan kendaraan umum, namun orang umumnya lebih suka singgah dulu di Meulaboh (6 jam) sebelum melanjutkan perjalanan lebih ke selatan lagi.

Tapaktuan dapat digunakan sebagai pangkalan (basis) untuk melakukan eksplorasi ke kawasan Kluet 45 Km selatan Tapaktuan yang merupakan bagian dari wilayah Taman Gunung Leuser. Bagi mereka yang menyukai burung maka Kluet merupakan tempat yang bagus untuk melakukan pengamatan terhadap hewan tersebut. Pantai Tu`i Lhok yang berada 18 km utara Tapaktuan merupakan pantai yang paling bagus di kawasan Tapaktuan. Di dekat pantai ini terdapat sebuah air terjun kedl dimana wisatawan dapat mencud badan setelah berenang di laut. Air terjun yang lebih besar terdapat di Pantai Air Dingin yang berada di selatan Tu`i Lhok.

Pulau Simeulu adalah pulau terpendl yang dikenal karena hasil perkebunannya yaitu eengkeh dan kelapa, selain itu tidak ada lagi yang dihasilkan dari pulau ini. Pulau yang berlokasi 150 Km dari lepas pantai Tapaktuan ini memiliki suasana yang tenang dengan penduduknya yang ramah. Untuk menuju ke pulau ini dapat menumpang kapal dari Meulaboh ke Sinabang atau pesawat udara tiga kali seminggu dari Medan via Meulaboh. Teluk Jamin adalah sebuah desa pantai yang terlerak 70 Km selatan Tapaktuan dan merupakan salah satu tempat keberangkatan untuk menuju ke Kepulauan Banyak. Untuk menuju ke tempat ini dapat menumpang bis urn urn yang banyak melewati Teluk Jamin dalam perjalan menuju ke Tapaktuan di utara dan Subulussalam dan Sidikalang di selatan.

Singkil adalah kawasan pelabuhan yang berada di mulut Sungai Alas. Sebagaimana Teluk Jamin maka Singkil merupakan pelabuhan utama bagi mereka yang akan berangkat menggunakan kapal menuju Pulau Banyak. Jika Anda ingin berangkat dengan kapal ke Pulau Banyak maka berarti Anda harus menginap di salah satu dari empat losmen yang terdapat di tempat ini yaitu: Indra Homestay, Harmonis, Purnama dan Favorit dengan tarif sekitar Rp 60.000.



raziey

wisata pantai aceh


Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) sempat menjadi daerah tujuan wisata andalan Indonesia. Propinsi paling barat Indonesia ini menjadi salah satu alternatif utama tempat para pelancong merelaksasi diri. Hutan alam, panorama laut dan nuansa tradisional menjadi tempat sempurna untuk memanjakan fungsi panca indra.

Lantas era gemilang pariwisata Aceh itu semakin lamban berdenyut menjelang tahun 1980-an akhir. Kunjungan turis lokal dan manca negara menurun drastis seiring dengan semakin mencuatnya Gerakan Aceh Merdeka (GAM) sebagai masalah nasional. Lantas darurat militer silih berganti dengan darurat sipil. Dan terakhir, bak sim salabim, tsunami mengubah semuanya, menciptakan kerusakan maha dahsyat.

Kerusakan masif akibat gelombang air laut ini, melebur semua imaji tentang indah bumi Aceh, terutama di sepanjang tepian laut. Pantai tiba-tiba menjadi tempat menakutkan, karena banyak memakan korban saat gelombang air naik. Semua di tepiannya musnah.

Saat berkunjung ke Aceh sejak Desember 2004 hingga Februari 2005 lalu, penulis sempat meninjau derah-daerah yang selama ini menjadi daya tarik pariwisata Aceh itu. Merekam jejak-jejak tersisa di Banda Aceh dan sekitarnya.

Pantai Lhoknga

Semuanya memang menyedihkan. Kehancuran itu sudah tergambar di semua media, terutama yang berada di sepanjang garis pantai Banda Aceh dan Aceh Besar. Misalnya di Pantai Lhoknga, Aceh Besar, sekitar 17 kilometer dari Banda Aceh, ibukota NAD.

Pantai ini, yang jaraknya sekitar 300 meter dari pabrik PT Semen Andalas, sebelumnya selalu dipenuhi pengunjung saban hari Sabtu dan Minggu. Rata-rata 500-an orang mandi di pantai hingga pukul 10.00 Wib. Setelah itu sarapan pagi dengan menu ikan bakar, di pondok-pondok milik warga. Sementara sore hari, adalah waktu menunggu terbenamnya matahari.
Berdiri di tepiannya sambil membiarkan kaki dijilati ombak, mata akan lepas memandang ke arah Laut Indonesia. Angin akan meliukkan pucuk-pucuk cemara di sekitar pantai. Bukit di sebelah kanan, yang di sebaliknya adalah dermaga Semen Andalas, mengingatkan kita akan Tanah Lot, Bali. Bedanya, tidak ada pura di sana. Sementara di belakang, perbukitan hijau menyejukkan. Keempat arah mata angin adalah kemanjaan bagi mata. Pantai teduh dengan pasir putih dan air laut menghijau.

Keindahan alami Lhoknga itu, masih bisa dirasakan hingga kini. Deru angin dan ombak di sana masih seperti semula. Perbedaan hanyalah pada rasa. Takut saat mencecahkan kaki ke pantai yang kini semakin banyak karang-karang laut. Ada kekhawatiran, bagaimana jika tiba-tiba ombak besar datang menggulung? Kemana harus berlindung. Bukit di belakang pantai ini, tidak akan terdaki dengan cepat. Sudah sedemikian terjal. Gerusan tsunami menjadikan dindingnya tonjolan-tonjolan batu cadas sebesar mobil. Sementara bibir jalan aspal di bawahnya sebagian besar retak dan hancur.

Jika tsunami datang lagi, tak mungkin juga rasanya melarikan diri ke pabrik Semen Andalas. Kehancuran diakibatkan tsunami pertama, sungguh mengerikan. Tangki timbunnya bergeser beberapa meter. Dua kapal melintang di tengah jalan, sementara satu kapal lainnya terbalik di dermaga.

Dermaga itu sendiri, kini sudah hancur dinding-dinding tebalnya. Menjadi pemandangan terbuka. Sebuah gua ternyata ada di dalam komplek dermaga. Selama ini gua sepanjang 20 meter itu tidak terlihat dari luar karena tertutup dinding komplek.

“Saya baru tahu di sini ada gua. Memancing di sini lebih teduh,” kata Abullah Gamak, warga Banda Aceh berusia 38 tahun.

Kerinduan akan suasana pantai Lhoknga, membawa Gamak dan puluhan warga Banda Aceh dan Aceh Besar datang ke pantai ini setiap sore. Nuansa baru Lhoknga dari dermaga dan dua kapal yang melintang di tengah jalan, menjadi alasan berikutnya.

Pantai Lampuuk

Kondisi di Pantai Lampuuk, pantai yang lebih dahulu dijumpai jika berangkat dari Banda Aceh, juga tidak jauh berbeda. Pantai ini menjadi salah satu objek wisata andalan Aceh Besar dengan kualitas pantai sama baik dengan Lhoknga. Ketika masa sebelum bencana alam datang, di pantai ini banyak pedagang sea food. Ikan, kepiting, cumi dan udang di jual dengan harga yang murah. Aromanya menyebar dari setiap warung.

Kini yang terbentang adalah hamparan luas bebas. Tak ada lagi pondok-pondok penjual ikan. Sekitar 20 meter dari bibir pantai, sebuah timbangan tergeletak dekat barisan pohon cemara. Berserak bersama batu karang dan sampah. Bergabung dengan plang bekas sebuah kafetaria.

Beberapa meter di samping kanannya, sebuah pusara sekedarnya dibuat untuk korban tak dikenal. Tak ada nama, hanya sebuah batang kayu kering diletakkan di atas gundukan pasir. Pasar tradisional nyaris tak bisa ditandai lagi. Plang nama jalan diletakkan di tumpukan kayu dan ranting sebagai penanda.

Lapangan golf di Kelurahan Mon Ikeun, di sekitar Pantai Lampuuk hanya tersisa sebagian saja rumput-rumputnya. Ini tempat karyawan Semen Andalas biasa berolahraga. Mengayunkan stick golf sambil mendengar deru ombak, sementara baju yang dipakai melambai diterpa angin.

Kondisi Lhoknga dan Lampuuk, merupakan gambaran umum keadaan pariwisata pantai di Aceh pasca tsunami. Tidak berbeda dengan Meulaboh, Calang dan Sabang. Semua memang tak sama lagi. Guncangan kuat dan derasnya air mengubah semuanya. Seperti tumpahnya sekaleng cat pada kanvas lukisan. Perlu waktu memulihkannya.

from:khairulid.blogspot.com



raziey

Thursday, January 8, 2009

Old Islamic ritual held in Bali


Andra Wisnu, , The Jakarta Post, , Denpasar

Emansyur, 68, stood near the entrance of the Assyuhada Mosque, the only one in the Bugis village of the Serangan sub-district, in the late afternoon on Tuesday.

In front of him, a number of people laid down a brown box on a short table. From within he pulled out a dilapidated Koran, its pages jutting out. A relic from the 17th century, according to a scholar from Udayana University, he said, the same age as the mosque he was standing in.

Emansyur, along with dozens of other villagers, was about to do the Magalici Koran (Buginese, which literally translates as "carrying the Koran around") ritual, during which they parade the Koran around the village while chanting prayers, stopping at the four corners of the village to sound the call for prayer, or Adzan.

"The point of this ritual is to protect this village from any harm, because I remember when this village stopped performing this ritual a number of decades ago, a smallpox plague fell upon us, killing people and destroying lives," Emansyur said Tuesday.

"But since we began doing the ritual again, no harm has befallen this village. In fact, it has prospered."

There are no records of such an outbreak in the Bugis village, but in Bali, where ancient Indonesian mystical roots have a firm grasp, age-old Islamic beliefs, rituals and artifacts, it seems, maintain a place in the hearts and minds of Muslims.

Emansyur began to call on all the villagers using a megaphone, asking them to join him in carrying the Koran around the village.

Men and their children joined, chanting prayers together as women and Hindus, who were obviously familiar with the annual ritual, watched from their homes.

The Magalici Koran is celebrated every Muharram 9 on the Islamic calendar, the day before Shia and Sunni Muslims recognized the death of Muhammad's grandson, Husain Bin Ali, during the war of Karbala in 680 A.D.

Also known as the day of Asyura, it is celebrated in Shia dominated countries as a day of mourning. In Iran, it is notably celebrated with a parade of self-flagellating Muslims.

The carrying of the Koran is unique to this Bugis village, a small hamlet within the Serangan island that is dominated by Muslims of the Bugis ethnicity, one of the largest ethnic groups of South Sulawesi.

Emansyur himself was born in Bali, and could not recall when his ancestors first immigrated to Bali, nor could he recall when the 17th century Koran was brought over.

However, he is one of the few elders in the village who continues to preserve the ritual.

"This Koran is very important to us, and we've learned that it is important to continue performing our ancestors' ritual," Emansyur said.

That feeling has seemed to pass on, Loh Ali, 32, another native of Bugis village, said.

"I've been doing this since I was born. Whenever we have the Magalici Koran I join because I believe that it is important to maintain peace," he said.

But the age of modernity and progress has forced even this small hamlet to change its age-old rituals.

The entourage walked around the village three times, stopping four times on the village's corners to sound the Adzan on each lap, a change from about 30 years ago, Loh Ali said, when the entourage would walk around the village while carrying the Koran once a day for three days.

"It was changed because, apparently, they felt like people were too busy to spend three days for a religious ritual," he said.

The surrounding villages in Serangan have asked Emansyur, who is a noted elder in the village, to expand the ritual to surround the island.

When asked whether the request was made to make the island more attractive to tourists, Emansyur said that, "it probably just means they approve of our ritual."

Source: The Jakarta Post




raziey
&affid=2368&output=js">