Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) sempat menjadi daerah tujuan wisata andalan Indonesia. Propinsi paling barat Indonesia ini menjadi salah satu alternatif utama tempat para pelancong merelaksasi diri. Hutan alam, panorama laut dan nuansa tradisional menjadi tempat sempurna untuk memanjakan fungsi panca indra.
Lantas era gemilang pariwisata Aceh itu semakin lamban berdenyut menjelang tahun 1980-an akhir. Kunjungan turis lokal dan manca negara menurun drastis seiring dengan semakin mencuatnya Gerakan Aceh Merdeka (GAM) sebagai masalah nasional. Lantas darurat militer silih berganti dengan darurat sipil. Dan terakhir, bak sim salabim, tsunami mengubah semuanya, menciptakan kerusakan maha dahsyat.
Kerusakan masif akibat gelombang air laut ini, melebur semua imaji tentang indah bumi Aceh, terutama di sepanjang tepian laut. Pantai tiba-tiba menjadi tempat menakutkan, karena banyak memakan korban saat gelombang air naik. Semua di tepiannya musnah.
Saat berkunjung ke Aceh sejak Desember 2004 hingga Februari 2005 lalu, penulis sempat meninjau derah-daerah yang selama ini menjadi daya tarik pariwisata Aceh itu. Merekam jejak-jejak tersisa di Banda Aceh dan sekitarnya.
Pantai Lhoknga
Semuanya memang menyedihkan. Kehancuran itu sudah tergambar di semua media, terutama yang berada di sepanjang garis pantai Banda Aceh dan Aceh Besar. Misalnya di Pantai Lhoknga, Aceh Besar, sekitar 17 kilometer dari Banda Aceh, ibukota NAD.
Pantai ini, yang jaraknya sekitar 300 meter dari pabrik PT Semen Andalas, sebelumnya selalu dipenuhi pengunjung saban hari Sabtu dan Minggu. Rata-rata 500-an orang mandi di pantai hingga pukul 10.00 Wib. Setelah itu sarapan pagi dengan menu ikan bakar, di pondok-pondok milik warga. Sementara sore hari, adalah waktu menunggu terbenamnya matahari.
Berdiri di tepiannya sambil membiarkan kaki dijilati ombak, mata akan lepas memandang ke arah Laut Indonesia. Angin akan meliukkan pucuk-pucuk cemara di sekitar pantai. Bukit di sebelah kanan, yang di sebaliknya adalah dermaga Semen Andalas, mengingatkan kita akan Tanah Lot, Bali. Bedanya, tidak ada pura di sana. Sementara di belakang, perbukitan hijau menyejukkan. Keempat arah mata angin adalah kemanjaan bagi mata. Pantai teduh dengan pasir putih dan air laut menghijau.
Keindahan alami Lhoknga itu, masih bisa dirasakan hingga kini. Deru angin dan ombak di sana masih seperti semula. Perbedaan hanyalah pada rasa. Takut saat mencecahkan kaki ke pantai yang kini semakin banyak karang-karang laut. Ada kekhawatiran, bagaimana jika tiba-tiba ombak besar datang menggulung? Kemana harus berlindung. Bukit di belakang pantai ini, tidak akan terdaki dengan cepat. Sudah sedemikian terjal. Gerusan tsunami menjadikan dindingnya tonjolan-tonjolan batu cadas sebesar mobil. Sementara bibir jalan aspal di bawahnya sebagian besar retak dan hancur.
Jika tsunami datang lagi, tak mungkin juga rasanya melarikan diri ke pabrik Semen Andalas. Kehancuran diakibatkan tsunami pertama, sungguh mengerikan. Tangki timbunnya bergeser beberapa meter. Dua kapal melintang di tengah jalan, sementara satu kapal lainnya terbalik di dermaga.
Dermaga itu sendiri, kini sudah hancur dinding-dinding tebalnya. Menjadi pemandangan terbuka. Sebuah gua ternyata ada di dalam komplek dermaga. Selama ini gua sepanjang 20 meter itu tidak terlihat dari luar karena tertutup dinding komplek.
“Saya baru tahu di sini ada gua. Memancing di sini lebih teduh,” kata Abullah Gamak, warga Banda Aceh berusia 38 tahun.
Kerinduan akan suasana pantai Lhoknga, membawa Gamak dan puluhan warga Banda Aceh dan Aceh Besar datang ke pantai ini setiap sore. Nuansa baru Lhoknga dari dermaga dan dua kapal yang melintang di tengah jalan, menjadi alasan berikutnya.
Pantai Lampuuk
Kondisi di Pantai Lampuuk, pantai yang lebih dahulu dijumpai jika berangkat dari Banda Aceh, juga tidak jauh berbeda. Pantai ini menjadi salah satu objek wisata andalan Aceh Besar dengan kualitas pantai sama baik dengan Lhoknga. Ketika masa sebelum bencana alam datang, di pantai ini banyak pedagang sea food. Ikan, kepiting, cumi dan udang di jual dengan harga yang murah. Aromanya menyebar dari setiap warung.
Kini yang terbentang adalah hamparan luas bebas. Tak ada lagi pondok-pondok penjual ikan. Sekitar 20 meter dari bibir pantai, sebuah timbangan tergeletak dekat barisan pohon cemara. Berserak bersama batu karang dan sampah. Bergabung dengan plang bekas sebuah kafetaria.
Beberapa meter di samping kanannya, sebuah pusara sekedarnya dibuat untuk korban tak dikenal. Tak ada nama, hanya sebuah batang kayu kering diletakkan di atas gundukan pasir. Pasar tradisional nyaris tak bisa ditandai lagi. Plang nama jalan diletakkan di tumpukan kayu dan ranting sebagai penanda.
Lapangan golf di Kelurahan Mon Ikeun, di sekitar Pantai Lampuuk hanya tersisa sebagian saja rumput-rumputnya. Ini tempat karyawan Semen Andalas biasa berolahraga. Mengayunkan stick golf sambil mendengar deru ombak, sementara baju yang dipakai melambai diterpa angin.
Kondisi Lhoknga dan Lampuuk, merupakan gambaran umum keadaan pariwisata pantai di Aceh pasca tsunami. Tidak berbeda dengan Meulaboh, Calang dan Sabang. Semua memang tak sama lagi. Guncangan kuat dan derasnya air mengubah semuanya. Seperti tumpahnya sekaleng cat pada kanvas lukisan. Perlu waktu memulihkannya.
from:khairulid.blogspot.com
raziey
No comments:
Post a Comment